Mahasiswa, Universitas, dan Perubahan


Informasi terbaru Mahasiswa, Universitas, dan Perubahan kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyannyuh.blogspot.com, semoga informasi Mahasiswa, Universitas, dan Perubahan memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua.
Oleh: Basri Amin

Ribuan mahasiswa kini berada di Gorontalo untuk memasuki dunia pendidikan tinggi. Mereka berasal dari beragam daerah, latar sosial, budaya, dan kemampuan ekonomi. Dalam konteks ini, semoga relevan untuk kita membahas tentang apa, mengapa, dan bagaimana universitas itu. Catatan ini adalah materi diskusi yang saya sampaikan di hadapan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan jurusan sosiologi Universitas Negeri Gorontalo, 8-9 Agustus 2010.

Universitas dan etika akademis 
Professor Edward Shils, seorang pemikir penting tentang universitas dariuniversitas Chicago, Amerika Serikat, menulis sebuah buku seminal "EtikaAkademis". Dalam buku ini, dijelaskan dengan tegas bahwa tugas utamauniversitas adalah "secara metodis menemukan dan mengajarkankebenaran-kebanaran tentang hal-hal serius dan penting (Shils, 1997: 1).Lebih lanjut, menurut Shils, perubahan-perubahan besar hampir semuanya terjadi dari dunia universitas, atau setidak-tidaknya memperoleh inspirasi dan arahan-arahan dari intelektual atau ilmuan-ilmuan (1997: 6). Temuan-temuan penting yang mengubah hal-hal pokok dalam kehidupan manusia, di era modern terutama, sebagian besar akar-akarnya bersumber dari universitas.Pada halaman lain, Professor Shils mengemukakan bahwa universitas merupakan semacam "tugu peringatan yang terus-menerus mengingatkan perlunya meneliti, menelaah, mengkritik, mengkaji-ulang teks-teks lama dan data lama, mencari data baru dan menggabungkannya dengan data lama" (hal.126).

Dengan karakter ini, universitas menjadi lingkungan dengan standar tinggi dalam berbagai pekerjaan keilmuannya dan pengabdiannya kepada masyarakat, serta prestasi-prestasi keintelektualan lainnya. Salah satu karakter warga kampus adalah energinya yang "aktif" untuk memahami kenyataan, mencipta kenyataan baru, atau merubah kenyataan yang ada.Kehidupan akademik itu sendiri tak bisa lepas dari kebebasan akademik dan etika akademik. Tanpa kebebasan yang memadai maka tak akan pernah ada penciptaan keilmuan yang unggul. Dan tanpa basis etika akademis maka kebebasan itu akan sangat mudah terdistorsi baik proses maupun output-nya--, dan bahkan bisa menjadi instrumen kuasa untuk kepentingan sesaat dan kelompok tertentu.Kebebasan akademik adalah sebuah kebutuhan tentang batas-batas maksimal bagaimana seorang ilmuan atau akademisi dalam mengeksplorasi ide-ide, membangun argumen-argumen tentang realitas, dan menemukan terobosan-terobosan terbaru/terbaik. Harapannya adalah bahwa pada tingkat tertentu yang maksimal seseorang bisa melahirkan proposisi-proposisi atau menguji kebenaran-kebenaran saintifik tertentu, atau tentang kondisi-kondisi dinamis/situasional yang berkembang di masyarakat, baik di masa lalu, kini dan di masa depan.Professor Andi Hakim Nasution, mantan Rektor IPB (1993, dalam Suparlan, 1997: xv, pengantar buku Etika Akademis), memberikan beberapa pedoman umum bagi para ilmuan, atau bagi warga kampus secara keseluruhan:

(1) bekerjalah dengan jujur;
(2) jangan sekali-kali menukangi data;
(3) selalulah bertindak tepat, teliti, dan cermat;
(4) berlakulah adil terhadap pendapat orang lain yang muncul terlebih dahulu;
(5) jauhilah pandangan berbias terhadap data dan pemikiran orang lain;
(6) jangan berkompromi tetapi usahakanlah menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Tradisi utama kehidupan universitas sesungguhnya adalah tradisi berargumentasi. Dari akar tradisi inilah berbagai temuan-temuan dasar, juga hal-hal aplikatif bisa diciptakan dengan memadai dan mumpuni. Keragaman acuan kepustakaan, sumber-sumber data dan temuan-temuan perbandingan, serta iklim kolegial yang kritis, merupakan faktor-faktor penentu dalam pengembangan etos keilmuan. Sudah tentu kondisi kunci lainnya tak bisa dipisahkan, yaitu menyangkut sumberdaya kelembagaan, manajemen, kepemimpinan universitas dan kepentingan-kepentingan lain yang mengitarinya.

Mahasiswa dan kampus 
Mahasiswa di universitas sebenarnya memproses dirinya agar bisa menyiapkan dirinya mencapai sebuah tingkat kematangan tertentu dalam kerja-kerja saintifik (sebagai calon/sarjana) dan peran sosialnya (sebagai warga negara dan dunia). Dalam proses pematangan itulah latihan demi latihan saintifik, variasi bacaan, dan studi-studi lapangan dan percobaan-percobaan laboratoris, juga interaksi sosialnya di kampus dengan sesama civitas academica, akan memfasilitasi pertumbuhan keperibadiannya kelak sebagai seorang sarjana dan warga masyarakat yang aktif.Datang di kampus tidak sekadar sebagai "individu biasa", tapi bagian dari sebuah komunitas baru yang memiliki misi khusus, di mana berbagai pilihan aktivitas, pengembangan diri dan kapasitas lainnya, tersedia di dalam kampus (yang multikultur) dan di sekitarnya (kehidupan kosmopolitan kota, dst). Status mahasiswa tentu bukan sesuatu yang eksklusif, terutama jika hal itu lebih mencerminkan sebagai sebuah "langkah transisi" agar kelak seseorang bisa memasuki lapangan pekerjaan dengan modal ijazah sarjana di tangan.

Mahasiswa adalah individu, sekaligus sebuah kolektifitas ideal, dimana subjek keilmuan tertentu dipelajari dan dikembangkan secara disiplin, terbuka, dan sistematis. Mahasiswa tak bisa melepaskan diri dari disiplin ilmu yang dipilihnya, dan alma mater yang mengasuhnya. Tapi di sisi lain, mahasiswa adalah juga bagian strategis dari warga masyarakat (bangsa dan dunia) yang "berhasil" memperoleh kesempatan menjalani pendidikan tinggi, sementara orang-orang yang sebaya dengannya masih banyak yang tersisih dari proses kemajuan (pendidikan) yang ada di Indonesia dan di dunia. Realitas masyarakat kita kini masih berada di masa transisi yang hebat dan serba rentan dengan masalah-masalah ekonomi, akses kepada keadilan, pelayanan negara, dst. Mereka harus memperoleh perhatian, empati yang dalam, dan pendampingan terbaik dari kalangan terdidik (universitas).

Terakhir, barangkali harus pula dicamkan bahwa dunia kemahasiswaan adalah sebuah "masa transisi" yang dinamis (menuju dewasa dan menyiapkan diri memasuki dunia kerja, dan keluarga). Pada masa inilah benturan-benturan aspirasional dan goncangan-goncangan praktis berupa kebutuhan sehari-hari-- yang bisa menopang aspirasi-aspirasi hidup kaum muda menjadi persoalan dinamis (soal gaya hidup, penggunaan ruang publik, akses informasi, dan ekspresi-ekpresi diri lainya, dst).Kampus dikenal dengan nama klasik, alma mater, ibu asuh, ibu yang melahirkan, yang mengasuh dan yang membesarkan anak-anak "pengetahuan"nya. Itulah sebabnya setiap orang sewajarnya mencintai alma mater-nya, bukan dengan cara-cara subjektif yang verbalistik, tapi lebih jauh dari itu menyangkut tanggung jawabnya untuk selalu mampu dan berusaha memberi kontribusi dan penjagaan atau bahkan pengawalan kritis-- terhadap kelanggengan kerja-kerja keilmuan di universitas.

Mahasiswa hanya bisa menjadi bagian dari gerakan perubahan dan kontrol sejauh mereka menghayati missi sucinya sebagai warga universitas, terutama karena konsisten menggeluti dunia konseptual, kerja-kerja sistematis, dan pencerahan. Tegasnya, menjadi warga dari sebuh "menara api" yang memberi penerangan dan petunjuk ke lingkungan sekitarnya, kepada bangsanya dan dunia. Universitas, kata Professor Nugroho Sutanto, mantan rektor UI dan seorang sejarawan, bukanlah "menara gading" yang mengisolasi diri, bukan pula "menara air" yang kran-nya bisa diputar oleh siapa saja sekehendak hatinya (baca: Menegakkan Wawasan Alma Mater, UI Press: 1985). Dalam analogi seperti ini, beragam interpretasi bisa dikemukan tentang universitas. Mengapa? Karena semangat untuk "mengisolasi diri" yang proporsional dan profesional tetap diperlukan demi penemuan-penemuan penting dan pengembangan gagasan-gagasan serius. Menjadi warga universitas, secara sederhana, artinya menjadi warga yang memiliki sifat-sifat tidak dogmatis dan egoistik, juga tidak over generalisasi dan simplifikasi atas berbagai isu dan kenyataan. Tegasnya, prinsip keterbukaan dan kerendahhatian, serta kritisisme adalah hal-hal pokok yang sewajarnya melekat pada setiap warga kampus. Inilah orientasi ke dalam yang penting jadi pegangan, agar godaan untuk mengurusi apa-apa yang terjadi di luar jangan sampai merobohkan identitas kampus sebagai lembaga ilmiah. Ke dunia luar, kampus menyebarkan terang dan pencerahan dengan kapital pengetahuan yang dimilikinya, dengan integritas dan dedikasi penuh.

Menjadi sarjana 
Predikat sarjana adalah salah satu ujung perjalanan warga kampus. Kesarjanaan memang identitik dengan gelar akademik, tapi substansinya bukan semata itu. Substansinya adalah tugas-tugas keimuan dan keperibadian yang melekat di dalamnya. Semua "status" menuntut tanggung jawab.Secara simbolik, kesarjanaan bisa kita lihat dalam seremoni universitas: toga yang dipakai, bahasa yang dipergunakan, dst. Pakaian toga menjadi tanda bahwa tradisi Romawi kita pergunakan, dengan makna bahwa itu adalah simbol pakaian sipil, bukan seragam militer. Dengan toga hitam itu pula kita belajar tentang keluesan dan kesederhanaan, termasuk tentang "warna duka" (warna hitam?). Di kepala, terdapat beberapa segi yang mengitari, dengan sumbu/tali yang terletak di tengah-tengah, seringkali dengan warna kuning keemasan, atau putih polos. Kalung yang dipakai adalah simbol disiplin keilmuan yang kita pelajari selama ini, sering pula disertai dengan asesori lain yang artistik untuk memberi kesan eksklusif (warna universitas atau jabatan, dst).

Semuanya itu menjadi sesuatu yang simbolik, tapi juga sekaligus bermakna substantif. Toga yang dipakai para sarjana (ketika seremoni wisuda) tak terlalu jauh berbeda dengan toga para guru besar kita, dan anggota senatuniversitas/fakultas. Itulah tanda bahwa ada "kesejajaran" dengan mereka padalevel tugas-tugas keilmuan atau kesarjanaan kita, dalam hal pengabdian kepadamasyarakat sebagai warga negara. Maknanya, antara guru dan murid, pada fasetertentu akan menyandang sebuah status sama: sebagai sarjana yang sama-samabelajar.Kepada universitas, menjadilah universitas yang berwibawa. Kepada civitasacademica, menjadi warga universitas yang aktif, yang mengembangkanpengetahuan, yang persisten dan konsisten untuk belajar tanpa henti. Janganlupa bahwa kita diharapkan bekerja untuk kebajikan semua orang, yang memihakkepada mereka-mereka yang menderita dan tersisih, dan yang kritis dalammelakukan perubahan. Terakhir, agar tetap rendah hati dan terbuka menerimakebenaran-kebenaran, agar masa depan lebih baik dari hari-hari sebelumnya.Dunia di sekitar Anda sedang memanggil dan memanggil untuk merasakan buah-buahkarya-karya Anda. Selamat kepada Mahasiswa baru di Gorontalo. [gm2020]
Tinggalkan komentar anda tentang Mahasiswa, Universitas, dan Perubahan jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.

0 komentar:

Posting Komentar