Waktunya Memperbaharui Rupiah


Informasi terbaru Waktunya Memperbaharui Rupiah kami sediakan khusus untuk pembaca setia punyannyuh.blogspot.com, semoga informasi Waktunya Memperbaharui Rupiah memberikan pengetahuan lebih untuk kita semua.
Saya senang saat membaca kolom Agus Firmansyah di Jakarta Post edisi19 Mei 2008, yang menyatakan bahwa mungkin sekarang ini saat yang tepatuntuk melakukan redenominasi rupiah. Menurut Agus, rupiah adalah salahsatu mata uang yang paling rendah nilainya di seantero dunia. Uangkertas dengan nilai terendah yang beredar saat ini adalah Rp1.000, yangkira-kira sekarang ini hanya setara dengan 10 dolar AS. Uang logam,apalagi, sudah nyaris tak lagi digunakan. Satu rupiah saat ini hanyabernilai sekitar seperseratus sen dolar AS. Gagasan dasar dibalik penentuan nilai, atau daya beli, dari suatu unit mata uang adalahitu semestinya dapat bermanfaat atau memudahkan pengguna berkaitandengan skala transaksi yang biasanya berlangsung secara tunai. Saatmata uang dikelola secara memprihatinkan dalam kurun waktu yangpanjang, sebagaimana yang terjadi pada rupiah selama ini, daya belidari mata uang itu akan merosot secara signifikan sedemikian rupasehingga bahkan transaksi tunai dalam skala terkecil pun harusdilakukan dengan beberapa ratus unit mata uang.

Dengan katalain, rupiah saat ini, seperti halnya dolar, sebetulnya masih terdiridari 100 sen. Tapi saya bahkan tak lagi ingat pernah melihat koindigunakan dalam proses jual-beli dalam rupiah. Pelanggan Bank Indonesia(warga masyarakat pada umumnya, yang menggunakan mata uang rupiah untukbertransaksi) di masa lampau telah menentukan pilihannya, denganmereduksi permintaan mereka akan uang sen ke level nol. Dengan itu,maka mereka juga sebetulnya telah mereduksi permintaan akan koin rupiahyang memiliki denominasi rendah hampir ke level nol. Sebagaieditor sebuah jurnal tentang ekonomi Indonesia, saya kerap dibingungkanoleh kecenderungan banyak penulis yang mencatatkan nilai uang dalamrupiah secara terperinci sampai ke digit yang paling kecil, ketimbangmembulatkannya dalam jutaan, miliaran, atau bahkan triliunan. Tidakkahterbayangkan betapa pembaca jurnal akan kecewa jika nilai uang ituditulis ‘Rp24,2 triliun’ ketimbang nilai yang ‘sebenarnya’ sepertiRp24.165.782.534.956 (yang dalam banyak hal juga sering merupakantaksiran)?

Sebaliknya: akan jauh lebih mudah bagi mata, jikanilai uang itu hanya terdiri dari tiga atau empat digit ketimbangbelasan digit atau bahkan lebih (dan tentu saja akan lebih banyak angkayang bisa dicatatkan di satu tabel jika mereka dibulatkan). Untukalasan yang sama pula, akan sangat tidak nyaman jika harus melakukantransaksi bernilai rendah dalam bilangan nominal yang sangat besar.

Argumenuntuk memperkenalkan ‘rupiah yang baru’ menurut saya cukup meyakinkan.(Rupiah yang sekarang juga sebetulnya, di suatu masa beberapa dekadeyang lampau, adalah ‘rupiah baru’, yang diperkenalkan untukmenggantikan rupiah yang lama, yang pernah menjadi hampir tak bernilaigara-gara hiperinflasi di pertengahan tahun 1960-an.) Ringkasnya,sungguh tidak efisien jika kita harus menghitung dan bertransaksi dalambilangan jutaan, jika hal itu sebetulnya bisa dengan mudah dilakukandalam nominal ratusan atau ribuan.

Saya hanya bisa menemukansatu argumen-kontra untuk hal ini: bahwa peluncuran rupiah yang baruakan membingungkan dan mencemaskan warga masyarakat. Sudahlah pasti,jika proses transisi tak ditangani secara hati-hati, hal itu akantercipta. Tapi orang tidaklah bodoh. Jika pejabat tinggi pemerintahberhasil menerangkan alasan dari perubahan ini secara hati-hati dansabar, saya kira masyarakat akan memahaminya. Mungkin aspek yang palingpenting untuk ditekankan ke masyarakat adalah bahwa rupiah yang lamaakan dapat ditukarkan untuk rupiah yang baru di nilai, katakanlah,1.000 untuk 1, untuk jangka waktu yang cukup panjang. Mungkin jugabagus untuk merilis uang sen yang baru secara bersamaan.

Menarikuntuk melihat apakah otoritas moniter dan pemerintah akan mengadopsisaran bermanfaat ini secara serius. Akankah Bank Indonesia sebagailembaga yang memonopoli suplai mata uang mengakui fakta bahwamasyarakat kini hampir tidak lagi memiliki permintaan untuk rupiahdengan nominal rendah, dan secara mubasir harus dibebani untukberurusan dengan uang kertas rupiah dengan denominasi besar bahkanuntuk transaksi berskala kecil?

* Profesor ekonomi di Australia National University.Kolom ini diterjemahkan dari blog “Time to Renew the Rupiah?” yangdipublikasikan di laman Australia National University, IndonesiaProject. Untuk artikel dalam bahasa Inggris, klik di sini. [kd/vn]
Tinggalkan komentar anda tentang Waktunya Memperbaharui Rupiah jika anda suka dengan artikel yang kami suguhkan.

0 komentar:

Posting Komentar